B. Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
1. Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
Pada
umumnya lembaga pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar
muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga
pendidikan Islam di masa klasik menurut Charles Michael Stanton[5]
digolongkan kedalam dua bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan
nonformal, di mana yang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan
yang kedua mengajarkan pengetahuan umum, termasuk filsafat. Sementara
George Makdisi dalam hal yang sama menyebutnya sebagai lembaga
pendidikan ekslusif (tertutup) dan lembaga pendidikan inklusif
(terbuka). Tertutup artinya hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan
terbuka artinya menawarkan pengetahuan umum.
Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a. Shuffah
Pada masa Rasulullah Saw, shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan[6].
Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru
dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan
menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan
langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan shuffah
yang tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah
shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran,
astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
b. Kuttab/Maktab
Kuttab/Maktab
berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis.
Sedangkan kataba/maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana
dilangsungkan kegiatan tulis menulis[7].
Kebanyakan para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merpakan
istilah yang sama dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang
mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran
Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar[8].
Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah
istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman
modern[9].
Philip
K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di kuttab ini
berorientasi kepada Alquran sebagai suatu textbook. Hal ini mencakup
pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab,
sejarah nabi hadist khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Sejak
abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum disamping ilmu
agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan
warisan budaya helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam
kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya kuttab
dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non
agama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religious learning)[10].
Dengan
adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada
awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah
adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga
pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai
waktu belajar di kuttab, Mahmud Yunus menyebutkan dimulai hari Sabtu
pagi hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut:
- Alquran : Pagi s.d. Dhuha
- Menulis : Dhuha s.d. Dhuhur
- Gramatikal Arab, : Ba’da Dhuhur s.d. Siang
Matematika, Sejarah.
c. Halaqah
Halaqah
artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini
dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru
biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau
memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah
ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini
tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi
juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu halaqah
ini dikelompokan kedalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu
pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikatagorikan kedalam
lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat dengan college.[11]
d. Majlis
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya
ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada
perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman
keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi
berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas
pembelajaran, sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang
dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-Syafi’I artinya majlis yang
mengajarkan fiqih imam Syafi’i.
Seiring
denagan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai
kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya.
Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut:
- Majlis
al-Hadits, majlis ini diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam
bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya
kepada murid-muridnya. Majlis ini berlangsung antara 20-30 tahun. Dan
jumlah peserta yang ikut majlis ini mencapai ratusan ribu orang, seperti
majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa diikuti
oleh 100.000 sampai 120.000 orang.
- Majlis
al-Tadris, majlis ini biasanya menunjuk majlis selain daripada hadist,
seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
- Majlis
al-Munazharah, majlis ini dipergunakan untuk sarana perdebatan mengenai
suatu masalah oleh para ulama. Menurut Syalabi, khalifah Muawiyah
sering mengundang para ulama untuk berdiskusi di istananya, demikian
juga khalifah Al-Ma’mun pada dinasti Abbasiyah. Diluar istana majlis ini
ada yang dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang
berupa kontes terbuka dikalangan ulama, untuk model ini biasanya hanya
dipakai untuk mencari popularitas ulama saja.
- Majlis
al-Muzakarah, majlis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang
belajar hadist. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk
berkumpul dan saling mengingat serta mengulang pelajaran yang sudah
diberikan sambil menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya,
majlis al-Muzakarah ini dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan,
yaitu meliputi: sanad hadits, materi hadits, perawi hadits,
hadits-hadist dho’if korelasi hadits dengan bidang ilmu tertentu dan
kitab-kitab musnad.
- Majlis al-Syu’ara, majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair.
- Majlis
al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang
meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang
terkenal.
- Majlis
al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk
mencari keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan.
Disebut juga majlis al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah
perdebatan antara ulama fiqih atau hukum Islam.
e. Masjid
Semenjak
berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah menjadi pusat
kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang
menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting
adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid
pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan
penyampaian doktrin ajaran Islam.[12]
Perkembangan
masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan,
urgensi masyarakat kepada mesjid menjadi sangat kompleks. Hal ini
menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu
masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa.[13]
Jumlah jami lebih sedikit dibanding dengan jumlah masjid. Di Baghdad
hanya ada 6 jami, sedangkan masjid jumlahnya mencapai ratusan, demikian
juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami dari pada masjid. Namun di
Cairo jumlah jami cukup banyak. Jami maupun masjid keduanya digunakan
untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami memiliki
halaqah-halaqah, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah (menurut Abdul Fajar,
zawiyah sama dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar, namun muatan
kurikulum lebih tinggi karena memasukan pendidikan moral dan spiritual
atau tasawuf).
Ada
perbedaan penting antara jami dengan masjid. Jami dikelola dibawah
otoritas penguasa atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal
pengelolaan seluruh aktivitas jami, seperti kurikulum tenaga pengajar,
pembiayaan dan lain-lain. Sementara masjid tidak berhubungan dengan
kekuasaan. Namun demikian, baik jami maupun masjid termasuk lembaga
pendidikan setingkat college.
Kurikulum
pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk
memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qadhi, khotib, dan imam
masjid. Melihat kaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal.[14]
f. Khan
Khan
biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah
besar atau sebagai sarana komersial yang banyak memiliki toko, seperti
khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu,
khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang
hendak belajar hukum Islam pada suatu masjid, seperti khan yang
dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij di Suwaiqat Ghalib dekat makam
Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga digunakan sebagai sarana untuk
belajar privat.
g. Ribath
Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah.
Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh
seorang syaikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.
h. Rumah-rumah Ulama
Rumah
sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar.
Namun para ulama dizaman klasik (bani Umayyah dan bani Abbasiyah) banyak
yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar
mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan
karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran
di masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari
ilmu darinya[15].
i. Toko-toko Buku dan perpustakaan
Toko-toko
buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada
awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana
untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering
dilaksanakan disitu. Disamping toko buku, perpustakaan juga memiliki
peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan islam.
j. Rumah Sakit
Rumah
sakit pada masa bani Umayyah bukan hanya berfungsi sebagai tempat
merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga
yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu,
penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga
dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup
pesat.
k. Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badawi)
Semenjak
berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa
pengantar oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang beragama Islam. Namun,
bahasa Arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya,
karena mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami
kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadhi bahasa pasaran.
Namun tidak demikian halnya dibadiah-badiah, mereka tetep
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian
badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni.
Oleh
karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk sumber belajar pelajaran
bahasa Arab yang asli dan murni, sehingga banyak anak-anak khalifah,
ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam
rangka mempelajari ilmu bahasa kesusastraan Arab. Dengan begitu,
badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
2. Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah
Runtuhnya
kerajaan Romawi pada abad ke-5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan
yang gelap”, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban.
Sementara di timur (negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih 5 abad menjadi
mercusuar dunia dalam segala aspek.
Di
antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antar
bangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman sebelum bani
Umayyah mulai ditinggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam
segala aspek dengan diperkuat dasar-dasar agama sebagai sendi Negara.
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,.
Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah,
Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti:
Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir).
Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddah
untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih
identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada
murid dalam tingkat tertentu.
Sejalan
dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan
cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi
pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup
tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi.
Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani
Umayyah:
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat
kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang
membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama,
karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah
maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada
kurikulum. Kedua, kesukaran
diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena
tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada
setiap lembaga pendidikan.
Sebelum
berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi
tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi
halaqah.[16]
Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam.
Dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping
Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.[17]
Umumnya
pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik
di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi
pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh
pelajar bersama-sama. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada
mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu: belajar membaca dan
menulis, membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, belajar pokok-pokok agama
Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang
diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: Al-Qur’an dan
tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta fiqih (tasri’).
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum
pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk
mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran
di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang
lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan
jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang
banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai
Alquran dan agama.[18] Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).
Kedua
macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam
perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan
fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami agama,
menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama ini
tidaklah terbatas pada ilmu agama an sich, tetrapi dilengkapi juga
dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadits dan tafsir. Menurut Mahmud
Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadits, fiqih dan
ushul fiqih, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan sastranya.[19]
Kurikulum
kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase
kedua perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai
bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud
Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini mantiq, ilmu alam dan kimia,
music, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan,
ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran. Ikhwan Al-Shafa
mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
- Disiplin-disiplin
umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak
dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,
kimia, sulap, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial,
pertanian dan perternakan, serta biografi dan kisah.[20]
- Ilmu-ilmu
Filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi,
music, aritmatika, dan hokum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan
antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi,
peleburan, dan elemen-elemen meterologi dan minerologi, esensi alam dan
manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, persepsi
inderawi, embriologi, manusia sebagai mikro kosmos, perkembangan jiwa
(evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa
(filologi), psikologi, teologi-doktrin esoteris Islam, susunan dan
spiritual, serta ilmu-ilmu alam ghaib.
Masuknya
ilmu-ilmu asing yang berasal dri tradisi Hellenistik ke dalam kurikulum
pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan
dimasjid, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di
perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah.
Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan
penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga
tersebut.
3. Pendidik (guru) Pada Masa Bani Umayyah
Dalam
pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat
sekaligus mulia. Keberhasilan seorang guru dalam mengemban tugasnya,
baik sebai murabbi maupun sebagai agen perubahan dalam masyarakat sangat
dipengaruhi oleh kualifikasi dan kompetensi yang mereka miliki.
a. Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Bani Umayyah
Menurut
Mas’ud Khasan Abdul Qohar (1990: 129) Kompetensi adalah kekuasaan,
wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan
kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru
untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan
tertentu, diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan
nonfisik.
Menurut
Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa
menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan bani Umayyah secara umum
dapat digolongkan ke dalam 2 syarat:
§ Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih.
§ Syarat
Psikis: berakal sehat, hatinya beradab, tajam pemahamannya, adil
terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah marah, bila
berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan mudah
dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi
perbuatan yang tidak terpuji.
b. Pranata Sosial Guru
Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3 golongan adalah:
· Guru-guru
yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim
kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal
ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang
berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang
ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru
muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja,
Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.
· Para
guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim
al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan
tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib.
Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa
syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal
masyarakat.
· Para
guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah,
guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan
penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat.[21]
Hal ini disebabkan penguasa mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit
mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu
syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru
dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya
adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik
Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain
sebagainya.
Guru-guru
pada masa ini selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari
berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung
kajian yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa
klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid harus
selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah meny elesaikan
kitab yang dikajinya (khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar
kepada siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan
pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu
tertentu.
Guru
pada masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses
pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai
melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa
ini disebut dengan teacher oriented. Selain
itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan
memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil
tanpa ada diskriminasi.
4. Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah
Anak
didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran
tidak akan terjadi. Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term
student (siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang
berarti murid, dan talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab)
yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau
mahasiswa.
a. Pengertian dan Batasan Murid
Murid adalah anak yang sedang berguru, yang memperoleh pendidikn dasar dari satu lembaga pendidikan.
Di
awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika
Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari
Rasulullah Saw.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk
kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai
tempat pendidikan dasar.[22]
Di
kuttab para murid mendapatkan pengajaran berupa keterampilan dasar,
seperti membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama.[23]
Menurut Hudgson, pendidikan tingkat dasar adalah tempat bagi murid
untuk belajar membaca dan menulis. Sementara menurut Stanton, pada abad
pertama hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat rendah difokuskan pada
menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang
dengan diajarkan ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan
sejarah.
Pada
masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang
yang mau belajar di kuttab. Para murid yang masuk kedalam pendidikan
dasar ini bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab berumur lima tahun,
ada yang berumur tujuh tahun, bahkan ada yang berumur sepuluh tahun.
Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan
kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental,
tetapi juga dari segi ekonomi.
b. Biaya dan Lama Belajar
Biaya
selama di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang
tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu
dan setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah
bahan makanan sebagai pengganti uang.[24] Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin, diberi kesempatan belajar secara cuma-cuma.[25]
Selain itu ada juga orang tua murid yang menitipkan anaknya kepada
seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan
kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya.
Lama
belajar di kuttab tergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang
cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relative
singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu
agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipn demikian umumnya masa
belajar di kuttab kurang lebih lima tahun.[26] Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah murid menghafal Alquran.
c. Keadaan Murid
Menurut
Mahmud Yunus, para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu.
Belajar dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari kamis, waktu
belajar dimulai pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Ashar.
Biasanya setelah selesai shalat zuhur para murid pulang ke rumah untuk
makan.
Dari
uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih
banyak bergaul dengan guru dan para murid lainnya di kuttab. Adapun
murid yng berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan
seorang guru lebih lama dan murid-murid lain harus pulang ke rumah
setelah pelajaran selesai. Karena itu dapat diasumsikan bahwa guru yang
mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua.
5. Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kelangsungan
kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor. Dana
adalah salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi keberlangsungan
suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dialkukan dengan
semangat yang tinggi dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat
menghasilkan output yang berbobot.
a. Sumber Biaya Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
§ Subsidi Pemerintah/Negara
Para
penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap
ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan
menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan,
termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan
Islam ketika nabi berada di Madinah tersebar keluar madinah tersebar
luas keluar madinah sejalan dengan persebaran masjid.
Di
daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan
bahasa pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan lembaga pendidikan
Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan
gubernur, sehingga biaya pembangunan ditanggung
pemerintah. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan
memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang
besar kepada murid yang berhak menerimanya.
§ Wakaf
Wakaf
merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan
barang benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan pendidikan, wakaf
menjadi semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode
pada masa keemasan peradaban Islam (pada masa bani Abbasiyah).
Pemberian
wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat
dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang di buat
secara formal. Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi
wakaf dan mencantumkan cara penggunaan uang yang dihasilkan dari
investasi penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di dalamnya pemberi
wakaf dapat menetapkan criteria syaikh dan pengajar yang harus dipenuhi,
kurikulum yang digunakan bahkan madhab yang dianut. Disamping itu
pemberi wakap menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab
untuk mengelola wakaf tersebut. Walau demikian, dokumen wakaf dibuat
sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah ditanda tangani.
Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit juga aset atau
penghasilan wakaf tersebut.
Karena
wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti
tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan
sebagainya, dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi
pada waktu itu. Oleh karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan
pengajar yang di biayai oleh hasil wakaf berubah-rubah dari waktu ke
waktu. Walau begitu peran wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan.
Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu. Para
pelajar dan orang tua tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang
diambil untuk kegiatan pendidikan.
Contoh
lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini sangat
banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi,
seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid
dengan akademi didalamnya. Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid
khan), pembiayaannya berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur
berupa pondok dan toko untuk lima orang anak yatim serta pengajarnya,
mereka belajar membaca dan menghafal Alquran.
§ Orang Tua
Biaya
pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat
fleksibel tergantung pada kondisi orang tua murid. Biaya ini juga
mereflesikan kemajuan siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran, biaya
tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket
tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial,
seperti bahan pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa
tersebut.
Biaya
pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi
pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa
dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi
dilakukan dengan ikhlas. Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda,
berkisar antara 500 sampai 1000 dirham pertahun. Kadang-kadang
pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti
uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan.
Orang
tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan
mengeluarkan harta yang lebih banyak, ditambah dengan berbagai
fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya.
§ Siswa
Seorang
ilmuan yang mengajar dimasjid atau lembaga pendidikan lain
diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya jumlahnya disepakati
antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada masa awal belajar.
Ibrahim Al-Zadjdjadi misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya
sebanyak 1,5 dirham tiap hari. Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan
membayar honornya sejumlah dua pertiga dari penghasilannya tersebut,
ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai maut memisahkan
mereka.
Para
penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas
inisiatif sendiri sering bekerja ditengah-tengah masyarakat untuk
membiayai pendidikannya. Pekerjaan yang mereka lakukan bervariasi
tergantung kesempatan dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap
yang terdiri dari pekerja. Orang-orang ini sendiri menaggung biaya
pendidikan yang diperlukan.
§ Sumber Lain/Perorangan
Pandangan
ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain sebagai
bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima
bantuan financial dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai
kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri
diluar pekerjaan mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama
besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau menerima upah ketika
mengajarkan hadits. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha
sendiri.[27]
Literatur
Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang menggambarkan bahwa
para pengajar dan pendidik yang miskin sekalipun duduk memberikan
pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun.
Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu,
misalnya senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu,
semata-mata karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun
tidak menerima bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan
Abdullah ibn Harits, bahkan mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan
pendidikan tersebut.
Di
samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran diatas,
banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk
membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya.
b. Pola Pengelolaan Dana Pendidikan
§ Sentralisasi
Yang
dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana pendidikan
direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pemegang otoritas
kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah
pendidikan Islam yang panjang menunjukan bahwa lembaga-lembaga
pendidikan formal yang didanai oleh Negara, tidak memiliki otoritas
untuk untuk mengatur sumber keuangan yang memang tidak dimilikinya.
Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh pemerintah melalui khas
Negara atau Bait Al-Mal. Sehingga, nafas kehidupan lembaga endidikan
tersebut akan mengembang atau mengempis sesuai dengan kebijakan
pemerintah terhadap sector pendidikan.
§ Desentralisasi
Sistem
desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola manajemen keuangan
pendidikan yang bukan hanya berorientasi pada kebutuhan rill lembaga
tersebut dalam segala perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak
memiliki otoritas mutlak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif).
Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
- Tradisional
Dalam
corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa perencanaan yang
jelas dan jauh terarah. Berbagai keperluan operasional pendidikan akan
dapat terpenuhi ketika ada
pemasukan dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid,
dermawan, atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya
tersebut kering, maka tertahanlah berbagai kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga
pendidikan nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan
desentralisasi dengan corak ini. Kuttab yang tersebar di berbagai macam
lokasi misalnya, banyak yang diselenggarakan secara sederhana tanpa
campur tangan pemerintah dengan roti sebagai pemasukan ditambah sedikit
uang pada masa khatam Alquran. Para ulama yang menjadikan rumahnya
sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola input sukarela
ditangannya dengan perencanaan dan manajemen yang terarah. Ia hanya akan
memenuhi kepentingan operasional pendidikannya saat itu dengan dana
yang tersedia, atau ditambah dengan dana dari kantongnya sendiri maupun
tambahan yang dicari.
- Non-Tradisional
Corak
ini merupakan antisintesis corak tradisional. Dana yang masuk dikelola
melalui rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan
bersangkutan dan oleh penyelenggara lembaga pendidikan tersebut.
Sistem
wakaf dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi
wakaf tidak mengharuskan dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu
diluar penyelenggara lembaga pendidikan tersebutsebagai pengelola
wakaf, juga ketentuan-ketentuan ketat pengguna hasil dana wakaf yang
tidak fleksibel hingga tidak sesuai dengan berbagai perubahan kondisi
lembaga pendidikan tersebut.
sumber: http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-bani.html
[1] Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001. Hal 63.
[2] Abbas, Sirajuddin, KH. I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008. Hal 216.
[4] M. Ayoub, Mahmoud, The Crisis of Muslim History, Bandung: Mizan, 2004. Hal 93.
[5] Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: the Classical Period, AD 700-1300, Maryland, 1990, hlm 122.
[6] Abuddin Nata (terj.), Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000, hlm. 12.
[7] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 89.
[8] A. Shalabi, History of Muslim Education, Beirut, 1954, hlm. 16.
[9] Abdullah Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 16.
[10] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 49.
[11] Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 35.
[12] A. Shalabi, History of Muslim Education, Beirut, 1954, hlm. 47.
[13] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 57.
[14] Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 59.
[16]
Untuk mempermudah pengklasifikasian, penulis menghindar dari polemic
apakah kuttab itu pendidikan rendah dan halaqah adalah pendidikan
tinggi. Disini kuttab diidentikan dengan pendidikan rendah atau untuk
anak-anak dan halaqah sebagai pendidikan tinggi.
[17] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992, hlm. 113.
[18] Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994, hlm. 264.
[19] Zuharini, op. cit., hlm. 104.
[20] Mehdi Nakoosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriftif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 73.
[21] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam. 1990. Hlm. 128.
[22] Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 111.
[23] Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 111.
[24] Ahmad Sjalaby, Sejarah Pendidikan Islam, ter. Muchtar Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 231.
[25] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 32.
[26] Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 47.
[27] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 223.
0 komentar:
Posting Komentar